Hidup lebih Nikmat dan Bahagia dengan Rizki Halal
hidup, berkah, halal
AKHIR-AKHIR ini, publik dihebohkan dengan
berita tentang aliran dana ilegal yang diterima oleh sebagian kalangan
artis. Tentu ini bukan berita mengejutkan. Pasalnya, perilaku haram di
negeri ini yang dilakukan beberapa kalangna pejabat sudah menjadi menu
utama warta berbagai media. Apalagi belakangan ini, dimana korupsi baik
secara langsung maupun tidak, sering menyeret kaum hawa, utamanya dari
kalangan artis.
Pembelaan dari beberapa artis pun muncul sebagai headline berita dan program talkshow di media. Pada intinya, para artis menolak jika dirinya disebut menerima uang haram dengan pekerjaannya sebagai artis. Mereka berdalih bahwa mereka melakukan itu semua secara profesional, sesuai prosedur dan kesepaktan kerjasama.
Padahal, di hadapan Allah kelak, pertanyaan soal rizki ini bukan semata-mata menyangkut soal profesional atau tidak, tetapi benarkah, jujurkah dan halalkah cara kita mendapatkannya.
Lebih dari itu, sekalipun sudah halal cara kita mendapatkannya, halalkah cara kita membelanjakannya, juga akan menjadi pertanyaan utama.
Jadi, mari kita bangun satu kesadaran bahwa mencari rizki dengan cara halal adalah lebih utama dari apa pun juga. Sebab, setaat apa pun kita beribadah jika haram rizki yang kita makan, semua hanya akan mendatangkan kesia-siaan.
Ibn Umar meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membeli pakaian dengan harga sepuluh dirham, satu dirham di antaranya uang yang haram, maka Allah tidak akan menerima sholatnya selama pakaian itu masih dipakainya. Kemudian Ibn Umar memasukkan jarinya ke dalam dua telinganya, lalu berkata, “Biarkanlah telinga ini tuli kalau tidak mau mendengarkan perkataan dari Rasulullah ini.” (HR. Bukhari).
Terlepas dari ‘kehebohan’ yang terjadi, sebagai seorang Muslim kita mesti melihat fenomena negatif tersebut sebagai bentuk ketidaksadaran akal terhadap arti dan hakikat rizki itu sendiri. Yang mana, semua itu terjadi disebabkan oleh rasa tidak peduli terhadap ajaran Islam, sehingga memandang materi sebagai tujuan hakiki. Di sinilah, ilusi tentang banyaknya materi sebagai sumber kebahagiaan kian kuat merasuki jiwa.
Pada akhirnya sampailah dalam sistem bawah sadar seorang manusia bahwa materi adalah segala-galanya. Mungkin ini tidak terucap dalam kata, namun nyata dalam pola pikir, sikap dan perbuatan. Sebagaimana hal itu nampak begitu jelas pada diri seorang Fir’aun, Qarun dan Haman. Ketiganya punya kuasa, berharta dan berpendidikan.
Namun ketiganya juga manusia pandir yang menegasikan iman, sehingga memandang benar segala kedurhakaan dan menganggap tinggi segala bentuk kekufuran. Merasa bahagia dengan gelimang harta walau jiwa meronta kesakitan karena larut dalam kedurhakaan. Inilah contoh jenis manusia yang sangat cinta kepada harta, hingga tak peduli halal atau haram.
Padahal, setiap makhluk telah Allah jamin rizkinya (QS. 11: 6), dan tidak satu pun makhluk akan meninggalkan dunia ini, kecuali telah sempurna rizki yang telah ditetapkan Allah baginya.
وَفِي السَّمَاء رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rizkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.” (QS. Adz-Dzaariya [51]: 22-23).
Akan tetapi, karena ketakutan yang tidak berdasar, banyak di antara umat Islam yang meragukan kepastian ini, sehingga dalam mencari nafkah mereka tidak peduli pada halal haram, tetapi sangat fokus pada banyak dan menguntungkan, mudah dan cepat serta melalui cara apa pun juga.
Hakikat Rizki
Umumnya orang melihat rizki sebatas pada materi, angka, aset dan segala macam bentuk harta benda. Tidak heran, kalau ada orang mendapatkan uang dalam jumlah besar dikatakan mendapat rizki nomplok. Sebaliknya, yang sedang tidak memiliki uang disebut sial alias belum ada rizki. Padahal, rizki itu bukan semata-mata harta benda.
Secara bahasa rizki berasal dari kata Razaqa-Yarzuqu-Rizq yang berarti A’tha-Yu’thi-Tha’ yang artinya pemberian. Sedangkan secara istilah, rizki bisa dipahami sebagai sesuatu apa pun yang bisa dikuasai atau diperoleh oleh makhluk, baik yan gbisa dimanfaatkan atau tidak.
Sesuatu apa pun itu bisa dirinci sebagai segala hal yang bersifat halal dan haram, positif dan negatif, sehat dan sakit, cerdas dan tidak cerdas, tampan dan tidak tampan dan sebagainya. Semua itu bisa disebut sebagai rizki.
Dan, berbicara rizki semua telah ditetapkan oleh-Nya, lebih-lebih yang bersifat materi. Oleh karena itu, kita tidak boleh takut tidak mampu menghidupi anak keturunan kita hanya karena ketiadaan harta. Allah-lah yang akan mencukupi rizkinya.
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُواْ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.” (QS. Al An’am [6]: 151).
Ayat ini menjelaskan secara tegas, bahwa rizki yang bersifat materi yang dibutuhkan oleh jasad manusia, sungguh kita tidak boleh mengkhawatirkannya, meski terhadap anak keturunan kita, yang walau pun kita hidup mungkin dalam kesulitan. Karena Allah yang menjaminnya.
Oleh karena itu, haram seorang Muslim melakukan keburukan atas dasar apa pun juga. Apakah itu gaji kecil, alasan masa depan, kekurangan harta dan sebgainya. Seorang Muslim harus tetap dalam kebenaran dalam situasi dan kondisi apa pun juga.
Metode R-I-D-T
Lantas, jika demikian halnya, apakah kita cukup beribadah saja tanpa bekerja? Tentu tidak demikian pemahamannya. Seorang Muslim mesti meyakini janji Allah soal rizki itu telah dijamin oleh-Nya sebagai sebuah dasar untuk tidak melakukan tindakan keji dan terkutuk, seperti mencuri atau korupsi.
Di sisi lain, juga berfungsi sebagai motivasi, bahwa sekecil apa pun harta yang dimiliki, jika halal cara mendapatkannya, akhirnya kemuliaan dan kebahagiaan pasti akan datang juga. Dengan demikian maka mustahil seorang Muslim itu memelihara sifat malas dan serakah. Sebaliknya akan senantiasa tertib, giat, ulet dan teratur dalam soal mencari rizki. Atas dasar itu, seorang Muslim mesti memiliki metode yang benar dalam mencari rizki. Di antaranya bisa menerapkan metode berikut ini.
Pertama, memiliki rencana. “Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. 62: 10).
Ayat ini secara eksplisit memberikan panduan jelas bahwa setiap Muslim itu harus mengutamakan ibadah dan memiliki perencanaan dalam soal mencari rizki setelahnya, sehingga begitu sholat usai dilaksanakan, tidak ada waktu terbuang, karena sudah ada perencanaan perihal dengan cara apa rizki yang Allah janjikan akan dicari, sehingga waktunya efektif dan efisien.
Kedua, doa. Tidak boleh seorang Muslim hanya bersandar pada kemampuan kerja dan rencananya saja. Tetap, sekalipun rizki telah dijamin, kita mesti berdoa, memohon kepada Allah soal rizki. Sebab, sekali lagi, rizki bukan semata-mata soal harta dan benda. Tetapi juga yang lain, sebut saja misalnya ilmu.
Oleh karena itu ada doa yang diajarkan kepada kita seperti ini; “Rabbi zidni ilma warzuqni fahmaa”. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu juga termasuk rizki. Berarti berdoa memohon tambahan rizki dalam makna khusus maupun luas, sangat dianjurkan di dalam Islam.
Ketiga, tawakkal. “Jika kalian bertawakkal dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia telah memberi rizki kepada burung yang berangkat (pagi) dengan perut kosong, dan pulang dengan (perut) kenyang.” (HR. Tirmidzi dan Imam Ahmad).
Jika demikian adanya, akankah kita korbankan akidah dan iman kita hanya semata-mata soal materi yang merupakan bagian kecil dari rizki Allah yang begitu luas dan tak terbatas. Padahal jelas, sumber kebahagiaan dan kemuliaan seorang Muslim tidak terletak pada jumlah harta bendanya, melainkan pada ketakwaannya.
Lantas bagaimana jika rizki terasa sempit. Maka mari kita amalkan ayat Allah ;
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan sholat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. 20: 132).
Ibn Katsir menjelaskan bahwa shalat yang dimaksud ialah shalat malam. Kemudian Ibn Katsir mengatakan, “Yakni apabila kamu tegakkan shalat maka rizki akan datang kepadamu dari jalan yang tak pernah kamu sangka-sangka.”
Jadi, tidak patut seorang Muslim berbuat curang hanya karena takut miskin atau tidak akan hidup secara berkecukupan. Allah sudah menjamin. Oleh karena itu milikilah rencana sedini mungkin untuk hidup dengan rizki yang halal.*
Pembelaan dari beberapa artis pun muncul sebagai headline berita dan program talkshow di media. Pada intinya, para artis menolak jika dirinya disebut menerima uang haram dengan pekerjaannya sebagai artis. Mereka berdalih bahwa mereka melakukan itu semua secara profesional, sesuai prosedur dan kesepaktan kerjasama.
Padahal, di hadapan Allah kelak, pertanyaan soal rizki ini bukan semata-mata menyangkut soal profesional atau tidak, tetapi benarkah, jujurkah dan halalkah cara kita mendapatkannya.
Lebih dari itu, sekalipun sudah halal cara kita mendapatkannya, halalkah cara kita membelanjakannya, juga akan menjadi pertanyaan utama.
Jadi, mari kita bangun satu kesadaran bahwa mencari rizki dengan cara halal adalah lebih utama dari apa pun juga. Sebab, setaat apa pun kita beribadah jika haram rizki yang kita makan, semua hanya akan mendatangkan kesia-siaan.
Ibn Umar meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membeli pakaian dengan harga sepuluh dirham, satu dirham di antaranya uang yang haram, maka Allah tidak akan menerima sholatnya selama pakaian itu masih dipakainya. Kemudian Ibn Umar memasukkan jarinya ke dalam dua telinganya, lalu berkata, “Biarkanlah telinga ini tuli kalau tidak mau mendengarkan perkataan dari Rasulullah ini.” (HR. Bukhari).
Terlepas dari ‘kehebohan’ yang terjadi, sebagai seorang Muslim kita mesti melihat fenomena negatif tersebut sebagai bentuk ketidaksadaran akal terhadap arti dan hakikat rizki itu sendiri. Yang mana, semua itu terjadi disebabkan oleh rasa tidak peduli terhadap ajaran Islam, sehingga memandang materi sebagai tujuan hakiki. Di sinilah, ilusi tentang banyaknya materi sebagai sumber kebahagiaan kian kuat merasuki jiwa.
Pada akhirnya sampailah dalam sistem bawah sadar seorang manusia bahwa materi adalah segala-galanya. Mungkin ini tidak terucap dalam kata, namun nyata dalam pola pikir, sikap dan perbuatan. Sebagaimana hal itu nampak begitu jelas pada diri seorang Fir’aun, Qarun dan Haman. Ketiganya punya kuasa, berharta dan berpendidikan.
Namun ketiganya juga manusia pandir yang menegasikan iman, sehingga memandang benar segala kedurhakaan dan menganggap tinggi segala bentuk kekufuran. Merasa bahagia dengan gelimang harta walau jiwa meronta kesakitan karena larut dalam kedurhakaan. Inilah contoh jenis manusia yang sangat cinta kepada harta, hingga tak peduli halal atau haram.
Padahal, setiap makhluk telah Allah jamin rizkinya (QS. 11: 6), dan tidak satu pun makhluk akan meninggalkan dunia ini, kecuali telah sempurna rizki yang telah ditetapkan Allah baginya.
وَفِي السَّمَاء رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rizkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.” (QS. Adz-Dzaariya [51]: 22-23).
Akan tetapi, karena ketakutan yang tidak berdasar, banyak di antara umat Islam yang meragukan kepastian ini, sehingga dalam mencari nafkah mereka tidak peduli pada halal haram, tetapi sangat fokus pada banyak dan menguntungkan, mudah dan cepat serta melalui cara apa pun juga.
Hakikat Rizki
Umumnya orang melihat rizki sebatas pada materi, angka, aset dan segala macam bentuk harta benda. Tidak heran, kalau ada orang mendapatkan uang dalam jumlah besar dikatakan mendapat rizki nomplok. Sebaliknya, yang sedang tidak memiliki uang disebut sial alias belum ada rizki. Padahal, rizki itu bukan semata-mata harta benda.
Secara bahasa rizki berasal dari kata Razaqa-Yarzuqu-Rizq yang berarti A’tha-Yu’thi-Tha’ yang artinya pemberian. Sedangkan secara istilah, rizki bisa dipahami sebagai sesuatu apa pun yang bisa dikuasai atau diperoleh oleh makhluk, baik yan gbisa dimanfaatkan atau tidak.
Sesuatu apa pun itu bisa dirinci sebagai segala hal yang bersifat halal dan haram, positif dan negatif, sehat dan sakit, cerdas dan tidak cerdas, tampan dan tidak tampan dan sebagainya. Semua itu bisa disebut sebagai rizki.
Dan, berbicara rizki semua telah ditetapkan oleh-Nya, lebih-lebih yang bersifat materi. Oleh karena itu, kita tidak boleh takut tidak mampu menghidupi anak keturunan kita hanya karena ketiadaan harta. Allah-lah yang akan mencukupi rizkinya.
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُواْ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.” (QS. Al An’am [6]: 151).
Ayat ini menjelaskan secara tegas, bahwa rizki yang bersifat materi yang dibutuhkan oleh jasad manusia, sungguh kita tidak boleh mengkhawatirkannya, meski terhadap anak keturunan kita, yang walau pun kita hidup mungkin dalam kesulitan. Karena Allah yang menjaminnya.
Oleh karena itu, haram seorang Muslim melakukan keburukan atas dasar apa pun juga. Apakah itu gaji kecil, alasan masa depan, kekurangan harta dan sebgainya. Seorang Muslim harus tetap dalam kebenaran dalam situasi dan kondisi apa pun juga.
Metode R-I-D-T
Lantas, jika demikian halnya, apakah kita cukup beribadah saja tanpa bekerja? Tentu tidak demikian pemahamannya. Seorang Muslim mesti meyakini janji Allah soal rizki itu telah dijamin oleh-Nya sebagai sebuah dasar untuk tidak melakukan tindakan keji dan terkutuk, seperti mencuri atau korupsi.
Di sisi lain, juga berfungsi sebagai motivasi, bahwa sekecil apa pun harta yang dimiliki, jika halal cara mendapatkannya, akhirnya kemuliaan dan kebahagiaan pasti akan datang juga. Dengan demikian maka mustahil seorang Muslim itu memelihara sifat malas dan serakah. Sebaliknya akan senantiasa tertib, giat, ulet dan teratur dalam soal mencari rizki. Atas dasar itu, seorang Muslim mesti memiliki metode yang benar dalam mencari rizki. Di antaranya bisa menerapkan metode berikut ini.
Pertama, memiliki rencana. “Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. 62: 10).
Ayat ini secara eksplisit memberikan panduan jelas bahwa setiap Muslim itu harus mengutamakan ibadah dan memiliki perencanaan dalam soal mencari rizki setelahnya, sehingga begitu sholat usai dilaksanakan, tidak ada waktu terbuang, karena sudah ada perencanaan perihal dengan cara apa rizki yang Allah janjikan akan dicari, sehingga waktunya efektif dan efisien.
Kedua, doa. Tidak boleh seorang Muslim hanya bersandar pada kemampuan kerja dan rencananya saja. Tetap, sekalipun rizki telah dijamin, kita mesti berdoa, memohon kepada Allah soal rizki. Sebab, sekali lagi, rizki bukan semata-mata soal harta dan benda. Tetapi juga yang lain, sebut saja misalnya ilmu.
Oleh karena itu ada doa yang diajarkan kepada kita seperti ini; “Rabbi zidni ilma warzuqni fahmaa”. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu juga termasuk rizki. Berarti berdoa memohon tambahan rizki dalam makna khusus maupun luas, sangat dianjurkan di dalam Islam.
Ketiga, tawakkal. “Jika kalian bertawakkal dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia telah memberi rizki kepada burung yang berangkat (pagi) dengan perut kosong, dan pulang dengan (perut) kenyang.” (HR. Tirmidzi dan Imam Ahmad).
Jika demikian adanya, akankah kita korbankan akidah dan iman kita hanya semata-mata soal materi yang merupakan bagian kecil dari rizki Allah yang begitu luas dan tak terbatas. Padahal jelas, sumber kebahagiaan dan kemuliaan seorang Muslim tidak terletak pada jumlah harta bendanya, melainkan pada ketakwaannya.
Lantas bagaimana jika rizki terasa sempit. Maka mari kita amalkan ayat Allah ;
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan sholat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. 20: 132).
Ibn Katsir menjelaskan bahwa shalat yang dimaksud ialah shalat malam. Kemudian Ibn Katsir mengatakan, “Yakni apabila kamu tegakkan shalat maka rizki akan datang kepadamu dari jalan yang tak pernah kamu sangka-sangka.”
Jadi, tidak patut seorang Muslim berbuat curang hanya karena takut miskin atau tidak akan hidup secara berkecukupan. Allah sudah menjamin. Oleh karena itu milikilah rencana sedini mungkin untuk hidup dengan rizki yang halal.*